ARTI KATA PANGGILAN ORANG TIONGHOA/CINA INDONESIA
TUKANG BECAK - Seperti orang Asia pada umumnya, orang keturunan China atau orang Tionghoa di Indonesia punya kebiasaan berbeda-beda untuk memanggil kerabat mereka, tergantung mereka mengikuti tradisi barat, Indonesia, atau masih berorientasi tanah leluhur.
Yang Hollands-spreken atau kakek neneknya berpendidikan Belanda, sudah mengikuti tradisi barat. Semua paman dipanggil Oom. Semua bibi dipanggil Tante. Semua kakek dipanggil Opa dan semua nenek dipanggil Oma. Kakak dipanggil nama, tidak lagi memakai sebutan mas atau mbak.
Gampang dan praktis, seperti tradisi Barat pada umumnya. Yang lucu, anak-anak dipanggil dengan akhiran –tje atau –sje, akhiran yang merupakan term of endearment atau sebutan kasih sayang untuk si kecil. Misalnya nama anak Gwan, jadi Gwantje, Min jadi Mintje. Han jadi Hansje. Namanya Hokkian, tapi akhiran Belanda.
Terkadang, sampai sudah usia gocap (50) lebih pun masih dipanggil menurut nama kecilnya, hehehe.
Yang peranakan, terutama di Jawa, maunya mempertahankan tradisi Tionghoa, tapi bunyi dan struktur panggilannya sudah terkena pengaruh dan tradisi Indonesia. Misalnya panggilan untuk kakek. Dalam bahasa Hokkian (kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia berasal dari Hokkian selatan), kakek itu “kong”.
Di Jawa, semua kata diberi suara awal m, n, atau ng, agar enak menyebutnya: mBak, mBadhok, ngGanteng, nDablek, dll. Juga kata yang akhirannya berupa bunyi vokal, agar lebih enak bunyinya diberi akhiran “k”: “buka” jadi “bukak”, dll. Akibatnya, Kong jadi Engkong. Koh (kakak lelaki) jadi Engkoh, Ci (kakak perempuan) jadi Cik.
Cek (adik lelaki papa) jadi Encek. Pa’ (kakak lelaki papa) jadi Empek. So (saudara ipar perempuan) jadi Enso, Ku (saudara lelaki mama) jadi Engku. Yi (saudara perempuan mama) jadi Yik. Hanya Kou (saudara perempuan papa) yang tidak berubah, tetap Kou.
Selain bunyi yang terpengaruh Jawa, ada lagi pengaruh lainnya. Orang Tionghoa peranakan masih mau mempertahankan tradisi Konfusius yang sangat mempertahankan hirarki, menghormati yang dituakan. Kalau punya saudara lelaki tiga orang, dalam tradisi Tionghoa yang sebenarnya, yang tertua dipanggil Toa-Koh (toa = besar), yang kedua dipanggil Ji-Koh (ji = 2), dst.
Tapi dalam tradisi peranakan yang sudah terpengaruh Jawa, yang paling besar dipanggil Koh-De, yang nomer dua dipanggil Koh-Ngah, yang paling kecil dipanggil Koh-Lik. De, Ngah, dan Lik itu bukan bahasa Tionghoa, tapi bahasa Jawa: Gede, Tengah, dan Cilik, seperti Pak-De, Paklik, Bu-De dan Bu-Lik. Memang lucu, tapi pembauran budaya ini nyata. Kadang-kadang, biar gampang, yang lebih muda memanggilnya “De!” atau “Ngah!”, sehingga kalau kebetulan ada di satu ruangan Cik-De dan Koh-De dua-duanya menoleh!
Yang kakek neneknya dari keluarga totok alias baru turun kapal atau FOB (fresh off the boat) di 1920-1930, panggilan nama kerabat tidak boleh dianggap main-main. Yang merasa dituakan bisa tersinggung kalau panggilannya tidak tepat. Misalnya kakek: beda antara kakek dari garis papa (Ah-Kong atau Engkong saja) atau kakek dari garis mama (Wai-Kong atau kakek luar); ibunya papa (Ah-P’o atau P’o-p’o) atau ibunya mama (Wai-P’o atau nenek luar).
Urusan yang menyangkut marga seperti orang Batak, harus jelas, karena ujung-ujungnya menyangkut warisan yang mengikuti tradisi patrilineal. Saudara Engkong pun harus jelas; yang lebih tua disebut Pek-Kong atau paman-kakek; saudara engkong yang lebih muda dipanggil Cek-Kong, bahkan kalau saudaranya banyak bisa jadi ada Ji-Cek-Kong, San-Cek-Kong, Si-Cek-Kong, dst. urut seperti merk rokok Ji-Sam-Su (234).
Keluarga totok jaman sekarang, biasanya generasi berikutnya lahir di Indonesia antara tahun 1935–1955, yang masih mengalami sekolah Tionghoa sebelum ditutup oleh rejim Suharto di tahun 1966, jadi mereka masih lancar berbahasa Mandarin (bahasa persatuan di Tiongkok). Akibatnya, sebutan honorifik untuk yang dituakan pun bercampur-campur antara bahasa Hokkian (atau bahasa dialek asli kakek nenek, entah Hokchia, Tiochiu, Henghua, Hakka, Konghu, dll.) dan bahasa Mandarin.
Dalam keluarga saya, memanggil saudara perempuan papa tidak memakai bahasa Hokkian (Kou), tapi bahasa Mandarin (ejaan Indonesia: Kuku; pinyin: Gugu). Karena saudara perempuan papa saya ada tujuh, susah mengingatnya mana yang nomer 3-4-5 dan 6. Jadi kita memanggilnya Kuku plus namanya.
Kalau menurut bahasa Mandarin yang benar, seharusnya MD atau Menerangkan Diterangkan, jadi Hun-Kuku, Hua-Kuku. Berhubung generasi berikutnya bersekolah Indonesia, kita memanggilnya mengikuti tata bahasa Indonesia: DM (diterangkan menerangkan), yaitu Kuku Hun (Tante Hun), Kuku Tjen (Tante Tjen).
Suami-suami mereka kita panggil dengan sebutan Ku-tjang (tjang dari tjang-fu atau pinyin zhang-fu; artinya suami); Kutjang Hap, Kutjang An, dll. Tetapi kita memanggil paman masih menggunakan bahasa Hokkian dan Hokchia:
Papa saya yang merupakan saudara lelaki tertua dipanggil Empek. Saya memanggil adik-adik lelaki papa dengan Ah-Cik (bahasa Hokchia, sama dengan Ah-Cek atau Encek); saudara lelaki mama dengan Ah-Kiu (bahasa Hokchia, sama dengan bahasa Hokkian Ah-ku atau Engku).
Jadi, kebiasaan tiap keluarga itu lain, tergantung situasi kondisinya. Apa lagi kalau sudah kawin campur antara totok dan peranakan, atau dengan orang Jawa atau yang asli lainnya.
Di generasi Tionghoa sekarang (yang lahir sesudah 1980), tradisi memanggil menurut sebutan honorifik ini sudah luntur. Memang lebih mudah menggunakan Oom, Tante, Opa, Oma, daripada sebutan Tionghoa yang macam-macam dan susah diingat itu.
Sebenarnya tradisi ini maksudnya bagus yaitu menghorrmati yang lebih tua dan ada fungsi praktisnya yaitu memberi kejelasan mana yang dari pihak papa dan pihak mama. Mungkin tidak perlu terlalu mendetil sampai harus tahu urutannya, cukuplah jika generasi muda itu tahu dalam bahasa Mandarin:
Ah-Yi (saudara perempuan mama), Kuku (saudara perempuan papa), Shushu (saudara lelaki papa), dan Tjiu-tjiu (saudara lelaki mama, pinyin: Jiu-jiu), dan masih menghormati kakaknya, entah dengan sebutan Koh (Mandarin: Ge), atau Ci (Mandarin: Jie).

TUKANG BECAK - Seperti orang Asia pada umumnya, orang keturunan China atau orang Tionghoa di Indonesia punya kebiasaan berbeda-beda untuk memanggil kerabat mereka, tergantung mereka mengikuti tradisi barat, Indonesia, atau masih berorientasi tanah leluhur.
Yang Hollands-spreken atau kakek neneknya berpendidikan Belanda, sudah mengikuti tradisi barat. Semua paman dipanggil Oom. Semua bibi dipanggil Tante. Semua kakek dipanggil Opa dan semua nenek dipanggil Oma. Kakak dipanggil nama, tidak lagi memakai sebutan mas atau mbak.
Gampang dan praktis, seperti tradisi Barat pada umumnya. Yang lucu, anak-anak dipanggil dengan akhiran –tje atau –sje, akhiran yang merupakan term of endearment atau sebutan kasih sayang untuk si kecil. Misalnya nama anak Gwan, jadi Gwantje, Min jadi Mintje. Han jadi Hansje. Namanya Hokkian, tapi akhiran Belanda.
Terkadang, sampai sudah usia gocap (50) lebih pun masih dipanggil menurut nama kecilnya, hehehe.
Yang peranakan, terutama di Jawa, maunya mempertahankan tradisi Tionghoa, tapi bunyi dan struktur panggilannya sudah terkena pengaruh dan tradisi Indonesia. Misalnya panggilan untuk kakek. Dalam bahasa Hokkian (kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia berasal dari Hokkian selatan), kakek itu “kong”.
Di Jawa, semua kata diberi suara awal m, n, atau ng, agar enak menyebutnya: mBak, mBadhok, ngGanteng, nDablek, dll. Juga kata yang akhirannya berupa bunyi vokal, agar lebih enak bunyinya diberi akhiran “k”: “buka” jadi “bukak”, dll. Akibatnya, Kong jadi Engkong. Koh (kakak lelaki) jadi Engkoh, Ci (kakak perempuan) jadi Cik.
Cek (adik lelaki papa) jadi Encek. Pa’ (kakak lelaki papa) jadi Empek. So (saudara ipar perempuan) jadi Enso, Ku (saudara lelaki mama) jadi Engku. Yi (saudara perempuan mama) jadi Yik. Hanya Kou (saudara perempuan papa) yang tidak berubah, tetap Kou.
Selain bunyi yang terpengaruh Jawa, ada lagi pengaruh lainnya. Orang Tionghoa peranakan masih mau mempertahankan tradisi Konfusius yang sangat mempertahankan hirarki, menghormati yang dituakan. Kalau punya saudara lelaki tiga orang, dalam tradisi Tionghoa yang sebenarnya, yang tertua dipanggil Toa-Koh (toa = besar), yang kedua dipanggil Ji-Koh (ji = 2), dst.
Tapi dalam tradisi peranakan yang sudah terpengaruh Jawa, yang paling besar dipanggil Koh-De, yang nomer dua dipanggil Koh-Ngah, yang paling kecil dipanggil Koh-Lik. De, Ngah, dan Lik itu bukan bahasa Tionghoa, tapi bahasa Jawa: Gede, Tengah, dan Cilik, seperti Pak-De, Paklik, Bu-De dan Bu-Lik. Memang lucu, tapi pembauran budaya ini nyata. Kadang-kadang, biar gampang, yang lebih muda memanggilnya “De!” atau “Ngah!”, sehingga kalau kebetulan ada di satu ruangan Cik-De dan Koh-De dua-duanya menoleh!
Yang kakek neneknya dari keluarga totok alias baru turun kapal atau FOB (fresh off the boat) di 1920-1930, panggilan nama kerabat tidak boleh dianggap main-main. Yang merasa dituakan bisa tersinggung kalau panggilannya tidak tepat. Misalnya kakek: beda antara kakek dari garis papa (Ah-Kong atau Engkong saja) atau kakek dari garis mama (Wai-Kong atau kakek luar); ibunya papa (Ah-P’o atau P’o-p’o) atau ibunya mama (Wai-P’o atau nenek luar).
Urusan yang menyangkut marga seperti orang Batak, harus jelas, karena ujung-ujungnya menyangkut warisan yang mengikuti tradisi patrilineal. Saudara Engkong pun harus jelas; yang lebih tua disebut Pek-Kong atau paman-kakek; saudara engkong yang lebih muda dipanggil Cek-Kong, bahkan kalau saudaranya banyak bisa jadi ada Ji-Cek-Kong, San-Cek-Kong, Si-Cek-Kong, dst. urut seperti merk rokok Ji-Sam-Su (234).
Keluarga totok jaman sekarang, biasanya generasi berikutnya lahir di Indonesia antara tahun 1935–1955, yang masih mengalami sekolah Tionghoa sebelum ditutup oleh rejim Suharto di tahun 1966, jadi mereka masih lancar berbahasa Mandarin (bahasa persatuan di Tiongkok). Akibatnya, sebutan honorifik untuk yang dituakan pun bercampur-campur antara bahasa Hokkian (atau bahasa dialek asli kakek nenek, entah Hokchia, Tiochiu, Henghua, Hakka, Konghu, dll.) dan bahasa Mandarin.
Dalam keluarga saya, memanggil saudara perempuan papa tidak memakai bahasa Hokkian (Kou), tapi bahasa Mandarin (ejaan Indonesia: Kuku; pinyin: Gugu). Karena saudara perempuan papa saya ada tujuh, susah mengingatnya mana yang nomer 3-4-5 dan 6. Jadi kita memanggilnya Kuku plus namanya.
Kalau menurut bahasa Mandarin yang benar, seharusnya MD atau Menerangkan Diterangkan, jadi Hun-Kuku, Hua-Kuku. Berhubung generasi berikutnya bersekolah Indonesia, kita memanggilnya mengikuti tata bahasa Indonesia: DM (diterangkan menerangkan), yaitu Kuku Hun (Tante Hun), Kuku Tjen (Tante Tjen).
Suami-suami mereka kita panggil dengan sebutan Ku-tjang (tjang dari tjang-fu atau pinyin zhang-fu; artinya suami); Kutjang Hap, Kutjang An, dll. Tetapi kita memanggil paman masih menggunakan bahasa Hokkian dan Hokchia:
Papa saya yang merupakan saudara lelaki tertua dipanggil Empek. Saya memanggil adik-adik lelaki papa dengan Ah-Cik (bahasa Hokchia, sama dengan Ah-Cek atau Encek); saudara lelaki mama dengan Ah-Kiu (bahasa Hokchia, sama dengan bahasa Hokkian Ah-ku atau Engku).
Jadi, kebiasaan tiap keluarga itu lain, tergantung situasi kondisinya. Apa lagi kalau sudah kawin campur antara totok dan peranakan, atau dengan orang Jawa atau yang asli lainnya.
Di generasi Tionghoa sekarang (yang lahir sesudah 1980), tradisi memanggil menurut sebutan honorifik ini sudah luntur. Memang lebih mudah menggunakan Oom, Tante, Opa, Oma, daripada sebutan Tionghoa yang macam-macam dan susah diingat itu.
Sebenarnya tradisi ini maksudnya bagus yaitu menghorrmati yang lebih tua dan ada fungsi praktisnya yaitu memberi kejelasan mana yang dari pihak papa dan pihak mama. Mungkin tidak perlu terlalu mendetil sampai harus tahu urutannya, cukuplah jika generasi muda itu tahu dalam bahasa Mandarin:
Ah-Yi (saudara perempuan mama), Kuku (saudara perempuan papa), Shushu (saudara lelaki papa), dan Tjiu-tjiu (saudara lelaki mama, pinyin: Jiu-jiu), dan masih menghormati kakaknya, entah dengan sebutan Koh (Mandarin: Ge), atau Ci (Mandarin: Jie).