Jokowi : Gubernur Berikrar siap di hukum MATI Jika KORUPSI
PERTEMUAN antara Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, dengan jajaran Kementerian Dalam Negeri dan gubernur seluruh Indonesia di Istana Bogor, menghasilkan sejumlah kesepakatan bersama. Di antara sekian banyak kesepakatan menyangkut teknis kerja birokrasi dan kebijakan, terdapat satu hal menarik. Para gubernur berikrar mendukung upaya pemerintah memberantas korupsi. Jika melakukannya, mereka siap dipenjarakan, bahkan dihukum mati.
Perkara korupsi yang dilakukan kepala daerah (dalam hal ini khususnya gubernur) di Indonesia memang menjadi catatan buruk bagi rezim pemerintahan sebelumnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak lima gubernur terjerat rasuah. Mereka adalah Gubernur Sumatera Utara (2008-2012), Syamsul Arifin; Gubernur Banten (2007-2014), Ratu Atut Chosiyah; Gubernur Papua (2006-2011), Barnabas Suebu; serta dua Gubernur Riau, masing- masing Rusli Zainal (2003-2012) dan Annas Maamun (2013-2014).
Gubernur-gubernur ini terbukti bersalah dan telah dijebloskan ke dalam tahanan, kecuali Barnabas Suebu yang baru ditetapkan sebagai tersangka pada 5 Agustus 2014 dan sampai hari ini penyelidikan terhadap dugaan keterlibatannya masih berlangsung.
Selain memalukan, gubernur yang masuk penjara membuat jalannya roda pemerintahan di daerah-daerah di mana ia memimpin jadi tersendat.
Di Sumatera Utara, misalnya. Setelah Syamsul Arifin masuk bui, pemerintahan dikendalikan oleh wakilnya, Gatot Pujo Nugroho. Sedikit banyak berhubungan dengan konteks, dalam waktu yang tidak terlalu jauh berselang, di tingkatan lebih rendah, pergantian kepemimpinan juga terjadi di Pemerintahan Kota Medan. Wali Kota Rahudman Harahap dituding korupsi. Setelah dikirim ke balik terali besi, wakilnya, T Dzulmi Eldin, berganti kursi. Tapi baik Gatot maupun Eldin kerap ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Alasan mereka sama. "Ah... Saya, kan, cuma pelaksana..."
Sumatera Utara, kita tahu, begitu-begitu saja. Bahkan setelah Gatot tidak lagi sekadar menjadi pelaksana, tak banyak yang berubah. Pula begitu Banten, Papua, dan Riau. Daerah-daerah lain yang pemimpin daerahnya tidak terjerat kasus korupsi juga setali tiga uang. Jika pun bergerak maju, pergerakan tersebut lamban sekali. Seperti keong.
Karena itulah, ikrar ini patut untuk disambut dengan rasa syukur. Saya membayangkan betapa akan hebatnya negeri ini. Saya membayangkan kemajuan yang pesat macam Jepang atau Tiongkok, negara-negara di mana para pejabatnya merasa begitu bersalah ketika melakukan korupsi, hingga mereka tak perlu dihukum mati lantaran sudah memilih untuk menghabisi nyawanya sendiri.
Tapi rupa-rupanya kebahagiaan saya terlalu prematur. Sebab ternyata ikrar mereka bersyarat dan syaratnya sungguh menggelikan. Pertama, tidak ada ekspose di media sebelum ada kepastian perihal keterlibatan mereka dalam kasus korupsi yang disangkakan. Menurut para gubernur, pemberitaan media selama ini cenderung sudah menjadi pengadilan yang menjatuhkan wibawa pemerintahan mereka.
Kedua, pemeriksaan tidak dilakukan oleh KPK atau pihak Kejaksaan, melainkan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Artinya, apabila APIP menyatakan mereka tidak bersalah, maka tak perlu lagi diperiksa aparat penegak hukum. Atau kalau pun tetap diperiksa, hasil pemeriksaan yang direkomendasikan APIP harus benar-benar dijadikan dasar pertimbangan.
Duh, ini, sih, namanya sama juga bohong. Sekadar akrobat kata-kata. Ibarat bersedia dihukum pancung namun meminta diberi ilmu kebal terlebih dahulu. Koar-koar berani bunuh diri tapi dalam praktiknya cuma pakai peniti. Orang Medan bilang, cuma ecek-ecek.(*)
sumber : http://medan.tribunnews.com/2014/11/25/hukuman-mati-dengan-syarat

PERTEMUAN antara Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, dengan jajaran Kementerian Dalam Negeri dan gubernur seluruh Indonesia di Istana Bogor, menghasilkan sejumlah kesepakatan bersama. Di antara sekian banyak kesepakatan menyangkut teknis kerja birokrasi dan kebijakan, terdapat satu hal menarik. Para gubernur berikrar mendukung upaya pemerintah memberantas korupsi. Jika melakukannya, mereka siap dipenjarakan, bahkan dihukum mati.
Perkara korupsi yang dilakukan kepala daerah (dalam hal ini khususnya gubernur) di Indonesia memang menjadi catatan buruk bagi rezim pemerintahan sebelumnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak lima gubernur terjerat rasuah. Mereka adalah Gubernur Sumatera Utara (2008-2012), Syamsul Arifin; Gubernur Banten (2007-2014), Ratu Atut Chosiyah; Gubernur Papua (2006-2011), Barnabas Suebu; serta dua Gubernur Riau, masing- masing Rusli Zainal (2003-2012) dan Annas Maamun (2013-2014).
Gubernur-gubernur ini terbukti bersalah dan telah dijebloskan ke dalam tahanan, kecuali Barnabas Suebu yang baru ditetapkan sebagai tersangka pada 5 Agustus 2014 dan sampai hari ini penyelidikan terhadap dugaan keterlibatannya masih berlangsung.
Selain memalukan, gubernur yang masuk penjara membuat jalannya roda pemerintahan di daerah-daerah di mana ia memimpin jadi tersendat.
Di Sumatera Utara, misalnya. Setelah Syamsul Arifin masuk bui, pemerintahan dikendalikan oleh wakilnya, Gatot Pujo Nugroho. Sedikit banyak berhubungan dengan konteks, dalam waktu yang tidak terlalu jauh berselang, di tingkatan lebih rendah, pergantian kepemimpinan juga terjadi di Pemerintahan Kota Medan. Wali Kota Rahudman Harahap dituding korupsi. Setelah dikirim ke balik terali besi, wakilnya, T Dzulmi Eldin, berganti kursi. Tapi baik Gatot maupun Eldin kerap ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Alasan mereka sama. "Ah... Saya, kan, cuma pelaksana..."
Sumatera Utara, kita tahu, begitu-begitu saja. Bahkan setelah Gatot tidak lagi sekadar menjadi pelaksana, tak banyak yang berubah. Pula begitu Banten, Papua, dan Riau. Daerah-daerah lain yang pemimpin daerahnya tidak terjerat kasus korupsi juga setali tiga uang. Jika pun bergerak maju, pergerakan tersebut lamban sekali. Seperti keong.
Karena itulah, ikrar ini patut untuk disambut dengan rasa syukur. Saya membayangkan betapa akan hebatnya negeri ini. Saya membayangkan kemajuan yang pesat macam Jepang atau Tiongkok, negara-negara di mana para pejabatnya merasa begitu bersalah ketika melakukan korupsi, hingga mereka tak perlu dihukum mati lantaran sudah memilih untuk menghabisi nyawanya sendiri.
Tapi rupa-rupanya kebahagiaan saya terlalu prematur. Sebab ternyata ikrar mereka bersyarat dan syaratnya sungguh menggelikan. Pertama, tidak ada ekspose di media sebelum ada kepastian perihal keterlibatan mereka dalam kasus korupsi yang disangkakan. Menurut para gubernur, pemberitaan media selama ini cenderung sudah menjadi pengadilan yang menjatuhkan wibawa pemerintahan mereka.
Kedua, pemeriksaan tidak dilakukan oleh KPK atau pihak Kejaksaan, melainkan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Artinya, apabila APIP menyatakan mereka tidak bersalah, maka tak perlu lagi diperiksa aparat penegak hukum. Atau kalau pun tetap diperiksa, hasil pemeriksaan yang direkomendasikan APIP harus benar-benar dijadikan dasar pertimbangan.
Duh, ini, sih, namanya sama juga bohong. Sekadar akrobat kata-kata. Ibarat bersedia dihukum pancung namun meminta diberi ilmu kebal terlebih dahulu. Koar-koar berani bunuh diri tapi dalam praktiknya cuma pakai peniti. Orang Medan bilang, cuma ecek-ecek.(*)
sumber : http://medan.tribunnews.com/2014/11/25/hukuman-mati-dengan-syarat